Assalammu'alaikum,,,Irasshaimase,Wilujeng Sumping, Selamat datang ^_^
Tampilkan postingan dengan label muslim/muslimah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label muslim/muslimah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Oktober 2010

Muhammad Natsir : Militansi Sang Moderat
Taken From : www.ruangmuslim.com
Kategori Muslim Prestatif
Di Tulis Oleh : Warastuti

natsir-IM

Jika ada dua hal yang saya sukai dari Sumatera Barat, itu adalah tariannya yang menceriakan namun sopan dan Muhammad Natsir. Pria lembut berkacamata dari Alahan Panjang Sumatera Barat ini menorehkan kesan mendalam bagi saya. Pendiri Masyumi ini ialah sosok integral dengan militansi. Kepluralannya tercermin dalam sikapnya yang moderat, tidak frontal, tetapi militansinya tercermin dalam tulisan dan pidato-pidatonya. Dialah yang mampu mengimbangi pemikiran Soekarno yang kala itu sedang terpukau-pukau dengan sosialis.

Hmm.. saya jadi ingat cerita seorang teman tentang persahabatan Kurt Godel dan Albert Einstein. Godel, yang menemukan keterbatasan logika melalui tulisan ilmiahnya di tahun 1935, bersahabat dengan Einstein, yang menemukan teori relativitas. Godel adalah sparring partner pemikiran bagi Einstein, meski saya tidak tahu teknisnya seperti apa. Namun, publik lebih mengenal Einstein sang playboy kabel (kata teman saya=D) dibandingkan Godel. Padahal Godel is the man (kata teman saya lagi=D). Nah, saya merasa Godel-Einstein sebangun dengan Natsir-Karno.

Kemerdekaan RI di tahun 1945 masih saja membawa kegamangan yang bergulir hingga ketaklukan para delegasi Indonesia di Den Haag dalam Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1948. Indonesia menjadi federasi. Ancaman perpecahan di ambang mata. Dalam situasi ini Natsir melobi pihak-pihak daerah guna meyakinkan bahwa Indonesia harus tetap dan lebih baik bersatu. Sekembalinya RI ke dalam bentuk republik, Natsir menjadi perdana menteri pertama. Dan perang pemikiran kian menghangat antara Natsir dan Karno. Masyumi dibekukan, Natsir diasingkan. Hal ini juga sejalan dengan rasa ketidak mampuan Karno mengembalikan tampuk kepemimpinan ke tangannya, yang kemudian menginisiasi pendeklarasian Dekrit Presiden.

Pak Natsir ini adalah Ketua Dewan Masjid Sedunia dan Kongres Muslim Sedunia. Di dunia pendidikan, peran beliau ialah dalam mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu kontemporer. Dalam upayanya meletakkan dasar religiusitas ke dalam negara, Natsir mengusulkan pembentukan Departemen Agama. Saya ingin beropini sedikit tentang pembentukan departemen ini. Pada masanya, mungkin ini satu-satunya jalan bagi Natsir, setelah upayanya mempertahankan 7 kata dalam Piagam Jakarta ditelikung. Di era orde baru hingga sekarang, justru pembentukan departemen inilah yang menjadi simbol pengotakan agama dan keseharian.

Setelah di era Soeharto Natsir dicekal di dunia politik, ia lantas berkarya melalui forum dan komunitas Islam secara langsung. Ia bergabung dalam penggagasan Petisi’50 untuk memperjuangkan 7 kata dalam Piagam Jakarta. Mungkin bagi kita apa yang diperjuangkannya ini tampak sepele, tetapi merujuk pula pada perdebatan yang muncul akibat 7 kata ini, maka sesungguhnya apa yang diperjuangkan amatlah fundamental, sehingga ada yang bertahan menolaknya. Yang membuat gerah ialah stigma dan propaganda bahwa Pak Natsir hendak menjadikan negara ini negara agama (baca: Islam), dan mengingkari Pancasila. Padahal yang terjadi tidaklah selinear dan sedangkal itu. Pertama, Natsir ingin di satu sisi kita mengakui potensi dan realitas yang ada, merunut sejarah dalam kronologi yang benar, serta menganasir pengaruh yang ada, alih-alih berupaya mencari persamaan. Kedua, titik berat perjuangan Natsir berada pada esensi praktik kenegaraan yang moderat, terbuka tetapi tetap memiliki kendali atas dirinya sendiri. Jika saat ini kita banyak ribut tentang solusi bangsa, memunculkan banyak diskursus yang makin membikin bingung, saya berpikir jangan-jangan negara ini memang dibangun di atas pondasi yang salah, filosofi kesatuan yang kurang mendalam, dan euforia belaka.

Dengan kebesarannya, Pak Natsir tidak diberi gelar pahlawan. Namun setelah 100 tahun ia meninggalkan dunia, banyak pihak ingin memperjuangkan gelar tersebut baginya. Tetapi saya yakin bagi beliau itu sepele, tidak berarti, walau dia sangat berhak untuk itu. Saya jadi ingat kutipan dari film 'Batman: The Dark Night' bahwa pahlawan memang sering disalah artikan. Kita merasa perlu mengejar dan menangkapnya hanya karena dia hadir di waktu yang salah. Lebih sering ia menjadi oposan masyarakat, khusyuk dalam kesendirian, sembari terus menjaga kehidupan manusia di sepanjang hidupnya. Dia bisa saja meradang, membunuh lawannya, tetapi pahlawan sejati memiliki aturannya sendiri. Dan untuk itulah menjadi tidak penting baginya, dikenang sebagai pahlawan, orang biasa, atau bahkan pecundang. Kebesarannya akan selalu tersirat di lapisan angkasa dan tersembunyi, terkecuali bagi mereka dengan mata hati yang jernih.

_____

Warastuti

Penggemar buku, film, dan musik yang tengah berprofesi sebagai peneliti usai pengalamannya menjadi jurnalis di sebuah media nasional. Tulisan ini juga dimuat di http://www.warastuti.blogspot.com

gambar : Natsir bersama Syahrir dan Nazir Pamoentjak saat bertemu dengan pimpinan Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna. (sumber : ridwansyahyusufachmad.wordpress.com)


Nyai Ahmad Dahlan : Sang Pelopor


Nyai Ahmad Dahlan : Sang Pelopor
Taken from : www.ruangmuslim.com
Kategori : Muslim Prestatif
Di Tulis Oleh : Nida Arifin
Foto : Pahlawan Nasional (Google image)


Tak banyak dokumen sejarah yang mencatat seorang ulama perempuan bernama Siti Walidah. Namun setelah menjadi “Nyai Ahmad Dahlan”, nama isteri KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah itu mulai dikenal luas sebagai seorang ulama dan tokoh perempuan. Bahkan ia disebut sebagai tokoh gerakan perempuan Muslim Indonesia. Melalui aktivitasnya di Muhammadiyah dan Aisyiah, Nyai Dahlan berhasil membuktikan bahwa spirit Islam mampu mendorong kemajuan kaum wanita.

Puteri Kiai Muhammad Fadli, Penghulu Keraton Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat (Keraton Yogyakarta) ini lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1872. Sebagai anak seorang ulama yang disegani masyarakat, ia menjadi ‘puteri pingitan’, sehingga pergaulannya sangat terbatas. Namun atas didikan Sang Ayah, ia sangat tekun mendalami ilmu Al-Qur’an dan ilmu agama lainnya. Hampir setiap hari, sebagaimana umumnya penduduk Kampung Kauman, Siti Walidah belajar al-Quran dan kitab-kitab Islam berbahasa Arab Jawa (Pegon)

Dahaga ilmu agamanya seolah terpuaskan setelah ia dinikahi KH. Ahmad Dahlan, sepupunya sendiri. Ie mengikuti segala hal yang diajarkan suaminya itu. Bahkan, ia mengikuti jejak Ahmad Dahlan menggerakkan Muhammadiyah, yang menambah ilmu, pengalaman, dan amal baktinya.

Meskipun hanya mengenyam pendidikan dari lingkungan keluarga, Nyai Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang luas. Hal itu diperoleh dari pergaulannya dengan para tokoh, baik Muhammadiyah maupun pemimpin bangsa lainnya, yang kebanyakan teman seperjuangan suaminya. Sebut saja Jenderal Sudirman, Bung Tomo, Kiai Haji Mas Mansyur, dan lainnya. Ia tidak merasa rendah diri terhadap mereka, bahkan pada berbagai kesempatan, ia selalu sampaikan nasihat-nasihat yang sangat bernilai.

Keterlibatannya dengan Muhammadiyah dimulai saat ia turut merintis kelompok pengajian sopo tresno, yang artinya ‘siapa cinta’, tahun 1914. Kelompok ini belum menjadi suatu organisasi, hanya suatu gerakan kelompok pengajian karena belum memiliki anggaran dasar dan peraturan organisasi.

Kegiatan kelompok itu berupa pengkajian agama, yang disampaikan secara bergantian oleh Kiai Dahlam dan Nyai Dahlan. Dalam pengajian itu, diterangkan ayat-ayat AL-Qur’an dan Hadits yang mengupas hak-hak dan kewajiban perempuan. Harapan Nyai Dahlan, kegiatan seperti itu akan melahirkan kesadaran kaum wanita tentang kewajibannya sebagai manusia, isteri, hamba Allah, dan warga Negara.

Dalam suatu pertemuan di rumah Nyai Dahlan, yang dihadiri Kiai Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusuma, KH Fakhrussin, dan pengurus Muhammadiyah lainnua, timbul pemikiran untuk merubah ‘Sopo Tresno’ menjadi organisasi wanita Islam yang mapan. Semula “Fatimah” diusulkan sebagai nama organisasi itu, namun para tokoh yang hadir tidak sepakat. Kemudian Haji Fakhruddin mencetuskan nama “Aisyiyah” dan semua menyetujui.

Maka pada 22 April 1917, organisasi itu diresmikan. Bertepatan dengan peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang pertama kali diadakan Muhammadiyah secara meriah. Siti BAriyah tampil sebagai ketua organisasi muda itu, kemudian pada 1922, Aisyiyah resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah.

Memimpin Kongres

Tak gampang membesarkan organisasi wanita pada zaman itu. Nyai Dahlan dan pengurus Aisyiyah berjuang membuang kepercayaan kolot masyarakat. Tak putus asa ia ‘pasang badan’ menerima cacian atas sepak terjangnya yang dianggap melanggar kesusilaan wanita. Maklumlah, ia menanamkan ide baru bahwa wanita bisa berdaya dan sepadan perannya dengan laki-laki.

Nyai Dahlan memilih mengajari masyarakat dengan karya nyata. Ia membuka asrama dan sekolah-sekolah puteri, serta mengadakan kursus-kursus pelajaran Islam, serta pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan. Selain itu, ia juga mendirikan rumah-rumah miskin dan anak yatim perempuan, serta menerbitkan majalah bagi kaum wanita.

Bersama-sama mengurus Aisyiah, ia sering mengadakan perjalanan ke luar daerah hingga ke pelosok desa, untuk menyebarluaskan ide-idenya. Karena itu, meski tidak duduk dalam kepengurusan Aisyiyah, organisasi itu menganggap Nyai Dahlan sebagai “Ibu Aisyiah” atau “Ibu Muhammadiyah”. Tahun 1926, saat kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Nyai Dahlan membuat catatan sejarah, dialah wanita pertama yang tampil memimpin kongres tersebut. Saat itu, dalam siding ‘Aisyiyah yang dipandunga, duduk puluhan pria di samping mimbar. Mereka adalah wakil pemerintah, perwakilan organisasi yang belum mempunyai bagian kewanitan. Seluruh pembicara dalam siding itu adalah kaum perempuan. Tentu ini adalah hal yang tidak lumrah pada masanya.

31 Mei 1946, ajal menjemput Nyai Ahmad Dahlan. Ia dimakamkan di pemakaman belakang Masjid Kauman Yogyakarta. Menteri Sekretaris Negara kala itu, Mr. AG Pringgodigdo mewakili pemerintah memberikan penghormatan terakhir. Atas jasa-jasanya, pada hari pahlawan 10 November 1971 di Istana Presiden Jakarta, secara resmi presiden menyerahkan SK pengukuhan Nyai pejuang ini sebagai pahlawan nasional

Sekilas Tentang Asrama Puteri

Tahun 1912, KH Ahmad Dahlan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang dikenal juga sebagai volk school Muhammadiyah. Pada 1918, madrasah pertama milik Muhammadiyah ini mendapat perhatian dari pemerintah kesultanan Yogyakarta, dan diberi hadiah sebidang tanah. Di atas sebidang tanah itulah kemudian dibangun enam lokal gedung sekolah.

Volk school kemudian dikembangkan menjadi dua sekolah, bagian khusus laki-laki dan bagian khusus perempuan. Di masa-masa itulah Nyai Ahmad Dahlan mencetuskan ide untuk mendirikan asrama puteri. Menurutnya, untuk menyempurnakan pendidikan bagi kaum wanita, perlu diadakan pendidikan non-formal atau pondok. Karena waktu itu yang ada hanya asrama putera, Nyai dahlan berinisiatif mendirikan asrama puteri di samping rumahnya. Asrama itu diharapkan dapat menampung para wanita yang akan dididik pengetahuan keislaman dan segala hal yang menyangkut keputrian.

Awalnya, hanya anak-anak dari kampung Kauman yang mau tinggal di sana. Belakangan, para santriwati dari wilayah Yogyakarta dan sekitarnya tertarik untuk nyantri di asrama tersebut. Bahkan setelah Muhammadiyah berkembang di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, banyak anak daerah dikirim ke Yogyakarta dan tinggal di rumah Nyai Dahlan.

Di asrama tersebut Nyai Dahlan memberikan pendidikan keimanan dan praktik ibadah, shalat berjamaah, shalat rawatib, hingga latihan pidato untuk mereka bertabligh. Pendidikan bermasyarakat juga diajarkannya. Ia berharap alumni pesantrennya dapat berkiprah di tengah masyarakat. Caranya, Nyai Dahlan biasa mengajak santrinya berjalan-jalan seusai shalat shubuh. Pada kesempatan itu ia bawa mereka melihat langsung, dan dekat dengan kehidupan masyarakat, tentunya sambil juga berolahraga. Sementara para santri seniornya diajak tabligh ke luar kota.

_____

tulisan ini dimuat di Majalah Gontor Edisi Juli, 2008 dengan judul asli 'Nyai Ahmad Dahlan : Pelopor Gerakan Dakwah Perempuan'

gambar : foto-foto pahlawan nasional