Taken From : www.ruangmuslim.com
Kategori Muslim Prestatif
Di Tulis Oleh : Warastuti
Jika ada dua hal yang saya sukai dari Sumatera Barat, itu adalah tariannya yang menceriakan namun sopan dan Muhammad Natsir. Pria lembut berkacamata dari Alahan Panjang Sumatera Barat ini menorehkan kesan mendalam bagi saya. Pendiri Masyumi ini ialah sosok integral dengan militansi. Kepluralannya tercermin dalam sikapnya yang moderat, tidak frontal, tetapi militansinya tercermin dalam tulisan dan pidato-pidatonya. Dialah yang mampu mengimbangi pemikiran Soekarno yang kala itu sedang terpukau-pukau dengan sosialis.
Hmm.. saya jadi ingat cerita seorang teman tentang persahabatan Kurt Godel dan Albert Einstein. Godel, yang menemukan keterbatasan logika melalui tulisan ilmiahnya di tahun 1935, bersahabat dengan Einstein, yang menemukan teori relativitas. Godel adalah sparring partner pemikiran bagi Einstein, meski saya tidak tahu teknisnya seperti apa. Namun, publik lebih mengenal Einstein sang playboy kabel (kata teman saya=D) dibandingkan Godel. Padahal Godel is the man (kata teman saya lagi=D). Nah, saya merasa Godel-Einstein sebangun dengan Natsir-Karno.
Kemerdekaan RI di tahun 1945 masih saja membawa kegamangan yang bergulir hingga ketaklukan para delegasi Indonesia di Den Haag dalam Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1948. Indonesia menjadi federasi. Ancaman perpecahan di ambang mata. Dalam situasi ini Natsir melobi pihak-pihak daerah guna meyakinkan bahwa Indonesia harus tetap dan lebih baik bersatu. Sekembalinya RI ke dalam bentuk republik, Natsir menjadi perdana menteri pertama. Dan perang pemikiran kian menghangat antara Natsir dan Karno. Masyumi dibekukan, Natsir diasingkan. Hal ini juga sejalan dengan rasa ketidak mampuan Karno mengembalikan tampuk kepemimpinan ke tangannya, yang kemudian menginisiasi pendeklarasian Dekrit Presiden.
Pak Natsir ini adalah Ketua Dewan Masjid Sedunia dan Kongres Muslim Sedunia. Di dunia pendidikan, peran beliau ialah dalam mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu kontemporer. Dalam upayanya meletakkan dasar religiusitas ke dalam negara, Natsir mengusulkan pembentukan Departemen Agama. Saya ingin beropini sedikit tentang pembentukan departemen ini. Pada masanya, mungkin ini satu-satunya jalan bagi Natsir, setelah upayanya mempertahankan 7 kata dalam Piagam Jakarta ditelikung. Di era orde baru hingga sekarang, justru pembentukan departemen inilah yang menjadi simbol pengotakan agama dan keseharian.
Setelah di era Soeharto Natsir dicekal di dunia politik, ia lantas berkarya melalui forum dan komunitas Islam secara langsung. Ia bergabung dalam penggagasan Petisi’50 untuk memperjuangkan 7 kata dalam Piagam Jakarta. Mungkin bagi kita apa yang diperjuangkannya ini tampak sepele, tetapi merujuk pula pada perdebatan yang muncul akibat 7 kata ini, maka sesungguhnya apa yang diperjuangkan amatlah fundamental, sehingga ada yang bertahan menolaknya. Yang membuat gerah ialah stigma dan propaganda bahwa Pak Natsir hendak menjadikan negara ini negara agama (baca: Islam), dan mengingkari Pancasila. Padahal yang terjadi tidaklah selinear dan sedangkal itu. Pertama, Natsir ingin di satu sisi kita mengakui potensi dan realitas yang ada, merunut sejarah dalam kronologi yang benar, serta menganasir pengaruh yang ada, alih-alih berupaya mencari persamaan. Kedua, titik berat perjuangan Natsir berada pada esensi praktik kenegaraan yang moderat, terbuka tetapi tetap memiliki kendali atas dirinya sendiri. Jika saat ini kita banyak ribut tentang solusi bangsa, memunculkan banyak diskursus yang makin membikin bingung, saya berpikir jangan-jangan negara ini memang dibangun di atas pondasi yang salah, filosofi kesatuan yang kurang mendalam, dan euforia belaka.
Dengan kebesarannya, Pak Natsir tidak diberi gelar pahlawan. Namun setelah 100 tahun ia meninggalkan dunia, banyak pihak ingin memperjuangkan gelar tersebut baginya. Tetapi saya yakin bagi beliau itu sepele, tidak berarti, walau dia sangat berhak untuk itu. Saya jadi ingat kutipan dari film 'Batman: The Dark Night' bahwa pahlawan memang sering disalah artikan. Kita merasa perlu mengejar dan menangkapnya hanya karena dia hadir di waktu yang salah. Lebih sering ia menjadi oposan masyarakat, khusyuk dalam kesendirian, sembari terus menjaga kehidupan manusia di sepanjang hidupnya. Dia bisa saja meradang, membunuh lawannya, tetapi pahlawan sejati memiliki aturannya sendiri. Dan untuk itulah menjadi tidak penting baginya, dikenang sebagai pahlawan, orang biasa, atau bahkan pecundang. Kebesarannya akan selalu tersirat di lapisan angkasa dan tersembunyi, terkecuali bagi mereka dengan mata hati yang jernih.
_____
Warastuti
Penggemar buku, film, dan musik yang tengah berprofesi sebagai peneliti usai pengalamannya menjadi jurnalis di sebuah media nasional. Tulisan ini juga dimuat di http://www.warastuti.blogspot.com
gambar : Natsir bersama Syahrir dan Nazir Pamoentjak saat bertemu dengan pimpinan Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna. (sumber : ridwansyahyusufachmad.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar