Oleh: Yudha P Sunandar | Kategori : Kajian, News
Taken from : www.salmanitb.com
“Apa fungsi pendidikan? Untuk memperoleh kehidupan yang layak ataukah untuk membantu mengenal diri sendiri?” tanya Alfathri Adlin, pengkaji budaya dan agama. Tampaknya wajar Alfathri melontarkan pertanyaan tersebut. Karena Alfathri menilai, pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mencetak kuli, bukan untuk mengenal diri.
Demikian salah satu diskusi dalam kuliah umum bertajuk Pendidikan dan Agama di Gedung Sayap Selatan (GSS) C Masjid Salman ITB pada Senin (29/11) malam. Kegiatan ini merupakan rangkaian serial kuliah umum Beragama dalam Pergolakan Budaya yang diselenggarakan Divisi Pengkajian dan Penerbitan (DPP) YPM Salman ITB.
Lebih lanjut, Alfathri menyampaikan bahwa pendidikan yang diarahkan untuk menciptakan mental kuli ini, telah dimulai sejak zaman Belanda melalui Politik Etisnya. Walaupun berjudul politik balas budi, tetapi hal tersebut merupakan usaha Belanda untuk mencari tenaga administrasi murah.
Usai merdeka pun, pendidikan Indonesia tidak menjadi lebih baik. Pendidikan segera diterkam oleh kepentingan politis. Pada era Orde Baru misalnya. Pendidikan diperlakukan sebagai sarana pengembangbiakan kontrol politis secara sistematis demi melestarikan status quo.
Tidak hanya itu saja, pendidikan juta berfungsi menjadi pabrik suku-cadang bagi struktur raksasa kapitalisme global. “Dengan demikian, sejarah pendidikan kita adalah sejarah pelestarian mentalitas kuli secara sistematis,” simpul Alfathri.
Hal ini bisa dilihat dari rencana pemerintah Indonesia yang menargetkan lulusan SMK sebesar 70 persen, dan hanya 30 persen lulusan SMA. “Alasannya sih keren. Agar (manusia Indonesia) siap terjun ke dunia profesional. Bahasa lainnya, jadi kuli,” tegas Alfathri.
Tidak hanya di kalangan pendidikan menengah. Pragmatisme juga melanda dunia pendidikan tinggi Indonesia. Banyak orang melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang S3 hanya untuk menggapai jabatan, golongan, dan status sosial yang lebih tinggi. Bukan karena mencintai pengetahuan.
Alfathri membandingkan masyarakat pendidikan di Eropa dan Amerika. Di sana, hanya 50 persen lulusan S2 yang berasal dari penduduk setempat. Sisanya adalah warga pendatang. Sedangkan lulusan S3, mayoritas adalah warga pendatang. Itu pun bagi mereka yang memang memiliki cita-cita untuk menjadi dosen dan peneliti saja.
Fenomena ini didorong oleh kecenderungan masyarakat Eropa yang lebih memilih bidang profesional. “Dua hingga enam tahun mereka gunakan sebaik-baiknya untuk meniti jenjang karir, mereka lebih realistis,” ungkap Alfathri.
Berkaitan dengan agama, Alfathri menilai bahwa semua agama menyinggung dan berkepentingan terhadap arah pendidikan manusia. Agama, lanjut Alfathri, menyebutkan bahwa manusia memiliki cetak biru dalam penciptaannya. Cetak biru ini dijabarkan sebagai energi minimum, yaitu suatu kemampuan utama yang dimiliki seseorang yang mengalir dengan mudah ketika mengerjakan sesuatu.
Seyogyanya pendidikan harus selaras dengan agama. Dalam hal ini, pendidikan harus membuat manusia mengenal dirinya sendiri. “Pendidikan seyogyanya mengarahkan (manusia) ke arah cetak birunya,” tandas Alfathri.
assalamualaikum wr wb.. :)
BalasHapusgimana caranya mengubah pola pikir kaya gitu.. ?
Hm...kalau menerut pendapat saya hal yang pertama yang harus dilakukan dimulai dari diri..open minded..ga terkungkung, i mean terus belajar jangan pernah merasa cukup dengan ilmu yag dimiliki :) bangun mentalitas kita . Berpikir bahwa semoga keberadaan kita ga hanya bermanfaat buat diri ..biasanya kesadaran alam bawah sadar kita yang insya allah akan mempengaruhi tindakan dan pilihan2 hidup :) yakin2 dari situ paradigma kita berubah...dan moga memberi secercah "manfaat bagi orang lain"
BalasHapusbtw maaf jawaban saya kurang nyambung ntuk lebih lengkap kalo mau diskusi add aja YM saya :D atau add FB chaca akira :) thaks before 4 ur comment :D SEMANGAT!! ;)
oh iya blom jawab salam..wa'alaikumussalam wr wb :D
BalasHapus